Guru dalam Terminologi jawa berarti digugu dan ditiru, artinya guru adalah pribadi yang dijadikan contoh, teladan, dan siap dijadikan model baik oleh murid-muridnya di kelas maupun dalam lingkungan masyarakat dimana gurutersebut ada. Paradigma ini sudah melekat sejak lama bagi kita sebagai seorang guru, karenanya mau tidak mau, suka atau tidak suka, peran kita akan selalu dikontrol dan dikoreksi. Cara kita pun dalam mengambil keputusan akan menjadi cerminan integritas kita yang akan dicontoh oleh mereka.
Seiring dengan pandangan di atas, Ki Hajar Dewantara dalam patrap triloka yang menjadi jiwa pendidikan nasional kita mengatakan, ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani. Dalam pandangan KHD, seorang guru atau pemimpin pembelajaran harus mampu menempatkan diri dengan sebaik baiknya, apakah dia berada di depan murid-muridnya, diantara murid-muridnya atau dibelakang murid-muridnya. Saat berada di depan, maka kita siap menjadi teladan, saat ditengah diantara/bersama murid-murid kita, maka kita siap membangkitkan motivasi mereka, dan pada saat kita berada di belakang, maka kita siap mendorong murid-murid kita mencapai kesuksesan masa depannya. Pemahaman kita tentang patrap triloka ini menjadi spirit bagi kita dalam pengambilan keputusan yang memberikan hasil akhir terbaik bagi murid-murid kita.
Sejalan dengan pandangan KHD, Shapiro, J.P dan Stefkovich, J.A dalam bukunya Ethical Leadership and Decision Making in Education mengatakan bahwa Pada abad ke 21, seorang pendidik perlu untuk mengembangkan, membina dan memimpin sekolah untuk lebih toleran, demokratis dan lebih menghargai keberagaman. Untuk itu seorang pendidik perlu mengedepankan etika dan moral yang berbasis dari nilai-nilai kebajikan universal dalam mengambil keputusan. Dan juga seorang pemimpin pendidikan masa depan akan lebih siap dalam mengenali, berefleksi, serta menghargai berbagai perbedaan yang ada sebagai satu kekuatan aset untuk memajukan pendidikan.
Jika kita sependapat dengan pernyataan shapiro dan stefkovich, maka Sebagai pemimpin pembelajaran di masa yang akan datang, kita harus siap menjadi sekolah sebagai institusi moral. Sekolah sebagai pusat terbangunnya budaya, nilai-nilai kebajikan, dan moralitas dalam diri murid-murid kita. Untuk itu semua stakeholder yang ada dalam sekolah tersebut harus siap menegakkan dan menerapkan nilai-nilai kebajikan yang kita yakini bersama.
Sudah barang tentu akan banyak sekali tantangan dan rintangan dalam menerapkan nilai-nilai kebajikan. Karena bisa saja terjadi antara satu nilai kebajikan dengan nilai kebajikan yang lain saing berseberangan satu sama lain. Pada saat itu, keputusan yang kita ambil akan diliputi rasa dilema. Oleh karena itu menjadi penting bagi kita untuk mengingat kembali nilai-nilai kebajikan apa saja yang telah kita sepakati dan kita junjung tinggi karena nilai-niai itu merefleksikan integritas sekolah kita dan keputusan yang nantinya kita ambil akan menjadi rujukan atau teladan bagi murid-murid kita di masa depan.
Disamping bersifat dilema, suatu keputusan juga akan menjadi sulit untuk kita putuskan karena banyaknya kepentingan yang saling bersinggungan. Dalam konteks ini, sudah barang tentu akan ada pihak-pihak yang akan dirugikan atau merasa tidak puas dengan keputusan yang kita ambil. Namun, sesulit apapun keputusan itu akan diambil, sebagai pemimpin pembelajaran kita harus selau berani mengambil keputusan sulit tersebut dengan senantiasa mendasarkan keputusan pada tiga unsur yaitu berpihak pada murid, berdasarkan nilai-nilai kebajikan universal dan bertanggung jawab terhadap segala konsekuensi dari keputusan yang kita ambil.
Pengambilan keputusan adalah suatu keterampilan yang harus terus kita latih agar dalam mengambil keputusan semakin jernih, semakin tajam pada hal-hal yang dianggap penting dan urgen serta semakin memberikan dampak positip bagi murid dan lingkungan sekitar kita. Oleh karena itu, kompetensi sosial dan emosional kita pun harus terus ditingkatkan. Hal ini penting agar secara sadar kita bisa mengelola diri kita untuk menghasilkan suatu keputusan yang lebih berdampak positip bagi banyak orang (dampak sosial ) dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kebajikan universal.
Sebagai suatu kesimpulan, penting bagi kita untuk terus berlatih dalam meningkatkan keterampilan kita dalam mengambil keputusan. Keputusan yang senantiasa didasarkan pada nilai-nilai kebajikan yang telah disepakati sebagai bagian dari integritas yang kita miliki. Suatu keputusan yang berpihak pada murid dalam kaitannya dengan sekolah sebagai suatu institusi moral perlu kita kedepankan. Dan keputusan itu harus mampu kita pertanggung jawabkan tentu dengan segala konsekuensinya.
Sebagai penutup, ingatlah bahwasanya masing-masing kita adalah pemimpin, dan setiap pemimpin itu akan dimintai pertanggung jawaban. Oleh karena itu, berlaku adil dan berbuatlah sesuai dengan nilai-nilai kebajikan, dengan norma-norma yang kita yakini kebenarannya.(*).